Lautan Kata


Sebelum semua serba digital, anak di sekolah akrab dengan kamus. Kadang bazar buku di sekolahan, sebagian besar menjual kamus dari berbagai penerbit. 

Hingga kini kamus masih ada, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) susunan W.J.S Poerwadarminta yang kemudian dikembangkan oleh Badan Bahasa untuk edisi terbaru. Ada pula kamus Oxford Dictionary, sampai kamus paling dikenal para pelajar Indonesia Kamus Inggris Indonesia susunan John M. Echois dan Hassan Shadily. 

Secara fisik, kamus-kamus itu terbayang di benak kita dengan mudah. Namun pernah tidak membayangkan bagaimana kata itu terkumpul, lalu bagaimana kata itu didefinisikan, sampai bagaimana menimbang kata ini perlu dimasukkan atau tidak?

Novel terjemahan dari Jepang, Merakit Kapal (2021) yang ditulis oleh Shion Miura, merekam jelas kompleksitas menyusun kamus. Bermula dari sebuah departemen kamus, yang diurus oleh penerbit kecil bernama Genbu. 

Terdapat ambisi menyusun kamus bahasa Jepang yang isinya harus berbeda, bahkan bila perlu merevisi kamus-kamus terdahulu. Pekerjaan yang terlalu berat, dan pasti memakan banyak waktu, mengingat biaya yang tidak seberapa, ditambah personil yang menggarap hanya—bisa dibilang terlalu sedikit.

Di Jepang, terkhusus di novel ini, pembuatan kamus tidak ditanggung oleh pemerintah. Ini bisa berarti buruk sekaligus baik. Buruknya, biaya kamus itu terlalu mahal, sedangkan pembuatannya kadang memakan waktu bertahun-tahun, malahan kamus di novel ini memerlukan waktu sampai 15 tahun. 

Jika penerbit tidak berani ambil risiko secara bisnis, kamus tidak akan pernah ada. Pun jika penerbit terburu-buru menerbitkan karena ingin kejar untung, kualitas kamus bisa sangat buruk. Andai kamus dibiayai pemerintah tentu tidak akan memedulikan untung rugi.

Iya di beberapa negara, kamus dibiayai oleh dana publik, sebab “penyusunan kamus dilakukan dengan mempertaruhkan prestise negara. Bahasa merupakan salah satu identitas bangsa, dan sampai pada tahapan tertentu, penyeragaman dan pengadilan bahasa diperlukan untuk menyatukan bangsa” (hal 224).

Namun ada pula baiknya proyek membuat kamus tidak diurus oleh pemerintah atau pemegang otoritas tunggal. Sebab bisa saja ada kepentingan lebih jauh untuk mengontrol proyek itu. Tentu akan berisiko kata-kata akan dijadikan alat untuk mengusai dan menekankan otoritas, demi kepentingan “nasional”, yang sebenarnya cuma urusan kekuasaan semata.

Kata “korupsi” dan “koruptor” misal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) korupsi hanya sebatas “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain” (via KBBI Daring). Sedangkan pelakunya disebut “koruptor”. Seno Gumira Ajidarma, pernah membahas ini di rubrik Bahasa majalah Tempo edisi 21 Mei 2017.

Kata Seno, konotasi “koruptor” tidak sama dengan “maling” apalagi “bajingan”. Adapun tidak sama artinya tidak sama rendah atau tidak sama hina dengan “maling” dan “bajingan”, meski nominal dan ruang lingkup dampaknya berkali lipat. Seolah-olah pengertian korupsi dan koruptor itu tidak pernah dikenal sebagai kebermasalahan—dan jika bersalah pun tidak pernah diterima sebagai penanda kehinaan. 

Tentunya, karena disamarkan oleh penanda-penanda kehormatan duniawi, yang terbeli dengan hasil korupsi tersebut. Akhirnya, terdapat “pembelaan” bagi para koruptor, bahwa statusnya secara sosial sebutan “koruptor” tidak pernah serendah “maling” atau “bajingan” (Tempo, 21 Mei 2017: 43).

Meski dalam konteks kata “korupsi” dan “koruptor” otoritas yang terlibat bukan otoritas pemerintah atau kekuasaan politik secara langsung, melainkan—sebut saja—otoritas sosial, yang sebenarnya itu bisa terjadi karena berkaitan pula dengan kekuasaan dan politik.   

Oleh karenanya, kata-kata—dan kamus yang mengelola kata-kata—selalu berada di posisi berbahaya, yaitu di antara individu dan kekuasaan—baik sosial maupun politik. 

Mestinya kata-kata dan hati manusia yang melahirkan kata, adalah suatu yang bebas, sama sekali tidak memiliki kaitan dengan otoritas ataupun kekuasaan. Kamus adalah Kapal yang dirakit agar semua orang berlayar dengan bebas (hal 245).

Kamus di novel yang dinamai Daitōkai ini, dianalogikan seperti kapal yang mengarungi lautan. “dengan menaiki kapal bernama kamus, manusia mengumpulkan cahaya-cahaya kecil yang mengapung di permukaan laut kelam agar bisa menyampaikan  pikirannya paling tepat dan sesuai. Tanpa kamus, kita hanya akan berdiri terpaku di hadapan lautan yang mahaluas” (hal 31).  

Kamus sebagai kapal sebenarnya berlayar mengangkut kata-kata. Satu kata yang diambil harus relevan, lalu didefinisikan secara akurat. Kamus membantu menggambar ingatan kita. Sebab ingatan adalah kata-kata itu sendiri. 

Meski, “ada kalanya aroma, rasa, serta suara juga membangkitkan ingatan masa lalu. Tapi, itu sebenarnya hanya verbalitas dari ingatan ambigu yang tertidur dalam diri kita” (hal 231).

Ketika seorang guru susah payah menjelaskan satu teori yang rumit di hadapan murid-muridnya. Ia memilih kata yang paling sederhana, menyusun materi di Power Point sesingkat mungkin, dan berusaha tidak menghadirkan kata muluk-muluk, mendakik-dakik yang hanya membuat pusing. Sampai si murid yang ia ajar paham teori yang ia jelaskan. Betapa gembiranya si guru.

Begitu juga seorang penulis. Ia tentu berusaha keras memilih kata paling efektif, ekspresif, sekaligus paling mewakili perasaan dan pikirannya. Lalu melihat pembacanya mengerti bahkan larut dalam tulisannya, larut dalam-dalam sampai ke pikiran dan hati, betapa bahagia si penulis. Keduanya, si guru dan si penulis, bahagia karena hasil ciptanya dipahami oleh orang lain.

Penciptaan memang butuh kata-kata. Membayangkan bagaimana lautan yang menutupi bumi di masa lampau, sebelum adanya makhluk hidup. Cuma dipenuhi air yang dulunya hanya terus bergolak dalam kondisi kacau. 

Laut yang sama juga ada dalam diri manusia. Ketika petir bernama kata-kata menyambar lautan, saat itulah semua terlahir. Baik cinta maupun hati. Kata-kata memberinya bentuk dan mengangkatnya dari lautan yang gelap (hal 232).

 

Keterangan Buku

Judul: Merakit Kapal

Penulis: Miura Shion

Editor: Milka Ivana

Alih Bahasa: Ninuk Sulistyawati

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetakan: Pertama, 2021

Tebal: 296 halaman

ISBN: 9786020650685
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain