photo created by rawpixel.com - www.freepik.com |
Ade Armando menerima pengeroyokan ketika ia turut meramaikan euforia demo 11 April kemarin. Apa yang diterima Ade Armando ini menunjukan sikap ketidakdewasaan demokrasi kita. Perbedaan pandangan dan sikap, yang diekspresikan orang dengan saling mengkritik, sekalipun dengan makian, tidak seharusnya yang semula ada mulut, malah menjadi adu fisik.
Tidak hanya Ade Armando, kekerasan entah siapapun pelakunya tetap tidak bisa dibenarkan, apalagi kekerasan yang 'normal', yang 'biasa' dilakukan oleh negara, lewat institusi polisi, juga tidak bisa dimaklumi. Kekerasan yang cenderung bersifat stuktural oleh institusi polisi jarang ada follow up, sebab kekerasan itu bisa jadi 'legal', konon demi keamanan dan ketertiban.
Kekerasan struktural oleh aparat, rasanya, lebih sering terjadi. Seperti kengerian aparat kepolisian yang memukuli, mengeroyok mahasiswa di serentetan demo Omnibus Law dan demo Revisi UU KPK dua tahun lalu. Itu semua terekam dan beredar di sosial media.
Lebih ngeri lagi, perlakuan aparat kepada warga Wadas, yang memilih bersikap kontra terhadap proyek strategis pemerintah itu. Terlihat di beberapa dokumentasi warga, aparat sampai masuk ke rumah juga masjid, lalu menendang, menarik paksa sampai baju robek, sampai badan terguncang tak karuan. Makian, teriakan, dan umpatan pun turut menyertai.
Kekerasan fisik semacam ini, sekali lagi yang dilakukan aparat, jarang kita melihat ditindak sampai ke pengadilan dengan ancaman hukuman pidana seperti yang terjadi di kasus pengeroyokan Ade Armando.
Kalau boleh menduga, barangkali, ini 'dilegalkan', karena aparat kepolisian itu diberi tugas oleh institusi negara untuk "mengamankan" warga atau demonstran yang kontra.
Lain hal Ade Armando, berbeda statusnya dengan mahasiswa dan warga Wadas. Ia adalah influencer, figur publik yang sering muncul di media. Maka penanganan terbilang sangat cepat. Hingga hari ini pun, pelaku sudah bisa diindentifikasi dan ditangkap.
Sembari Ade Armando mendapat perawatan intens, keadaan hari ini pun sudah membaik, seiring itu pula ia mendapat kepastian hukum, yang memang sewajarnya begitu. Hal yang sama seharusnya berlaku untuk orang biasa, seperti mahasiswa dan warga Wadas.
Demo mahasiwa, kerapkali ada kekerasan. Misal warga sipil ke warga sipil yang bersifat horizontal, ini seperti kasus Ade Armando. Konon diawali dengan adu mulut, cekcok, dan akhirnya ada serangan fisik.
Saya kira ini akumulasi dari apa yang dilakukan atau dikatakan Ade Armando kepada publik melalui kanal Youtube CokroTV, media yang ia garap bersama teman-temannya. Kanal itu kerap melempar argumen konfrontatif yang terkadang lebih terkesan provokatif.
Ditambah lagi konsekuensi jangka panjang dari polarisasi pemilu presiden yang lalu. Ketajaman cekcok di media sosial, juga saling ejek Cabong di lain pihak, dan Kampret di pihak lain. Atau kadrun/kadal gurun. Istilah-istilah ejekan ini muncul, jelas karena perang pengaruh di sosial media oleh para influencer masing-masing pendukung bakal presiden kala itu.
Dikotomi Cabong-Kampret yang dimunculkan entah secara sengaja atau tidak, akhirnya berubah bentuk, dari kekerasan verbal yang biasa kita baca di kolom komentar Sosmed, menjadi kekerasan fisik yang diterima, salah satunya menimpa Ade Armando.
Jadi apa yang terjadi dengan Ade Armando, adalah akumulasi dari sikap kontroversialnya di publik, dan, meminjam analisis para pengamat, polarisasi pemilu presiden dengan dampak yang berkepanjangan.
Andai kedewasaan kita berdemokrasi tinggi, mungkin kekerasan baik verbal di sosial media, dan kekerasan fisik di dunia nyata tidak terjadi. Namun toh, politisi memanfaatkan ketidakdewasaan itu untuk kampanye.
Konsepnya adalah dengan memanipulasi emosi kita. Teknisnya tinggal buat konten yang dipromosikan Buzzzer/Influencer di Sosmed, dengan membuat citra heroik untuk kubu sendiri, dan menjelek-jelekkan setengah mati kubu sebelah. Ini semakin mudah karena didukung oleh sistem algoritma sosial media. Kita dipaksa mempercayai sesuatu, termasuk kebohongan, meski tanpa bukti yang kuat.
Kekerasan verbal di dunia maya, sayangnya ikut pula disponsori raksasa platform sosial media semacam Facebook, Twitter dan Youtube. Apa mereka bertiga-- setidaknya ketiga platform itu yang sering dipakai--tidak berusaha mencegah kekerasan verbal itu?
Tentu tidak, kepentingan ketiganya berbeda, platform digital semacam itu sedari awal digarap dan dijalankan dengan motif kapitalis. Selama itu menguntungkan dari segi bisnis, dan iklan masih saja masuk, sistem akan terus menerus mempromosikan konten-konten provokatif ke algoritma kita. Kita secara tidak sadar, malah menikmati, dan menganggap apa yang ditampilkan melalui algoritma sosial media adalah kebenaran.
Sederhananya, orang bisa saja akan sangat percaya dengan apa yang ditampilkan di halaman beranda platform sosial media.
Ini sekaligus juga adalah gejala post-truth, yang sempat ramai didiskusikan sebelum pandemi. Term post-truth didefinisikan oleh Lee Mcintyre,
"....amounts to a form of ideological supremacy, whereby its practitioners are trying to compel someone to believe in something whether there is good evidence for it or not. And this is a recipe for political domination." (Pots-truth, 2018 hl. 13)....merupakan satu bentuk dari supremasi ideologi, dimana para praktisinya mencoba memaksa seseorang untuk percaya sesuatu, entah itu ada bukti yang nyata atau tidak. Dan ini cara untuk mendominasi politik.
Kasus pengeroyokan Ade Armando pun sempat menjadi kebingungan di banyak orang. Bagaimana seharunya bersikap? Beberapa komentar di kolom sosial media pun, malah turut mendukung kekerasan tehadap Ade Armando, hanya karena ia sedari awal sudah membenci.