Islam (dan) Jawa. Dua kata itu punya kompleksitas, kerumitan, dan mengundang perdebatan. Term ini sedari awal sudah bermasalah, setidaknya bagi saya, karena berarti bahwa ada Islam lain, yang berbeda dengan Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Begitu doktrin yang saya terima sejak kecil, baik itu guru, orang tua, kiai, bahkan dosen, tidak pernah menggunakan kata Islam Jawa untuk menyebut praktik keagamaan yang sempurna, yang sesuai dengan ajaran Nabi lewat wahyu.
Term Islam Jawa baru muncul di benak saya, ketika membaca buku-buku para sarjana barat yang berusaha mempelajari dan meneliti bagaimana praktik keagamaan di Jawa. Berdasar dengan kepercayaan yang mana. Apakah masih mistis animisme-dinamisme, masih Hindu-Budha, atau Islam? Sangat mungkin juga, malah campuran dari semua itu.
Jawabannya sangat tergantung bagaimana kita memposisikan Islam dan Jawa dalam satu frame. Burhani (2010:12) dalam Muhammadiyah Jawa menjelaskan ada beberapa yang memandang Islam sebagai bagian dominan dari kejawaan. Karena itu, setiap upaya meneliti Jawa seharusnya berfokus pada Islam atau melihatnya sebagai unsur yang signifikan. Pandangan ini dianut oleh para peneliti seperti William R. Roff, Marshall G.S. Hodgson, dan Mark R. Woodward.
Pada satu sisi ada pandangan bahwa Islam hanya memberi pengaruh kecil terhadap Jawa dan kejawaan. Islam hanya satu elemen dari banyak elemen kejawaan, yakni: pra-Hindu, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Karenanya sarjana yang ingin mengkaji Jawa seharusnya tidaklah berfokus pada Islam, namun semestinya menaruh perhatian kuat pada unsur-unsur non-Islam dari kejawaan seperti pra-Hindu, Hindu, Buddha dan Kristen. Beberapa pendukung pandangan ini adalah Thomas Raffles, Clifford Geertz, dan James L. Peacock.
Lalu di antara dua pandangan ekstrem itu ada pandangan penengah yang mencoba mengkaji Jawa dan Islam secara berimbang, dua pelopor diantaranya adalah M.C Ricklefs dan Andrew Beatty.
Saya akan jauh membahas lebih dulu mengenai kajian Islam dan Jawa oleh sarjana barat. Bagi saya ini akan mempermudah untuk masuk ke dalam buku Mark Woodward, kita akan melihat di posisi mana buku Woodward itu berada.
Mulai dari kajian mengenai Jawa yang sedikit lebih lama, misal, Raffles dalam The History of Java. Tentu motif Raffles untuk kepentingan kolonialisme. Jawa secara sosiologis juga dikelompokkan oleh Raffles dalam beberapa kelompok. Ada orang kaya dari kalangan saudagar China dan Arab, mereka rapi secara penampilan, enak dipandang. Lalu ada kalangan bangsawan atau keluarga raja, ini jelas lebih terpandang dan terdidik. Di antara mereka juga ada yang alim dan taat beragama.
Yang paling banyak, orang Jawa “jelata”, mereka telanjang dada, tidak beralas kaki, kehidupannya kotor, Raffles bahkan menyebut banyak yang menjadi pecandu Opium. Ironisnya opium itu dibawa dari negeri eropa oleh para pedagang, lalu dipasarkan di Jawa. Beberapa orang Jawa sendiri dari kalangan saudagar kaya juga menjual opium ke kaum jelata ini. Penggambaran Raffles sebenarnya terkesan bahwa masyarakat Jawa tidak maju. Ini wajar karena Raffles sekali lagi, berposisi sebagai koloni, yang sedang menafsir tempat jajahan baru, jelas akan terjadi bias.
Pembagian itu akan menghantar kita pada pembagian yang lebih sederhana sekaligus kompleks oleh Clifford Geertz dalam The Religions of Java, melalui trikotomi santri, abangan, priyayi. Namun ini dikelompokkan berdasar religion, bukan berdasar peran sosial. Kajian Geertz ini sangat berpengaruh terhadap analisis sarjana lain mengenai Jawa dari segala aspek. Beberapa kali saya temui analisis politik yang juga didasarkan pada trikotomi milik Geertz, juga termasuk Woodward dalam Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (1999) yang akan kita bedah.
Kejelian Geertz melihat Mojokuto, tempat penelitiannya yang hari ini kita kenal sebagai Pare, Jawa Timur membuat bukunya sangat detail melihat segala ritual yang dilakukan oleh tiga varian; santri, abangan, dan priyayi. Ini membuat, kajian Geertz, sampai sekarang masih relevan, sekaligus sangat sulit digantikan, sebab Geertz bahkan menyentuh aspek yang sangat fundamental mengenai religiusitas Jawa sekaligus bagaimana itu tergambar dalam laku kehidupan sosial.
Dalam trikotomi milik Geertz kebudayaan abangan identik dengan slametan. Di Mojokuto, slametan menjadi wadah bersama masyarakat, berfungsi untuk saling mendoakan keselamatan bersama, bahkan memperkecil ketidakpastian hidup, ketegangan, dan konflik antar mereka. Atas tujuan keselamatan bersama inilah disebut slametan (selamat), yang juga disebut oleh Geertz sebagai budaya komunal.
Slametan dapat diadakan untuk merespons nyaris semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan dan permulaan suatu rapat politik, semuanya bisa menyebabkan adanya slametan (Geertz 2014:3).
Abangan juga mempercayai hal yang bersifat gaib, termasuk di dalam kebendaan, Mereka percaya misal di benda tertentu seperti pohon, patung, sampai keris terdapat kekuatan mistis. Dalam konteks Mojokuto, terkadang slametan bahkan ditujukan untuk makhluk halus yang ada di Punden (tempat makhluk halus yang keramat), sebagai sebuah nazar setelah terlepas dari bahaya atau penyakit tertentu.
Santri yang menghendaki “kemurnian Islam” jelas akan menolaknya. Tindakan semacam itu melanggar ajaran etis dan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Nabi Muhammad berupa firman Allah (Alquran dan hadis). Santri menjalankan praktik ibadah sesuai ajaran Islam, termasuk sembahyang shalat. Geertz kemudian membedakan santri dari abangan dan priyayi dari intensitas menjalankan shalat.
Berbeda sama sekali dengan Abangan dan Santri, Priyayi yang memegang budaya ‘halus’ atau budaya tinggi Keraton. Ini oleh Geertz (2014:327) dikatakan sebagai elite budaya yang basis kekuasaannya terletak pada kontrol mereka terhadap pusat sumber simbol masyarakat (agama, filsafat, seni, ilmu, dan penulisan). Tradisi ini biasa dilakukan oleh kaum ningrat. Secara kasar, dapat dilihat bahwa Geertz seakan memisahkan varian priyayi dengan santri, yang itu artinya kalangan priyayi tidak menjalankan syariat ‘murni’. Juga tidak menjalankan kebiasaan sinkretis abangan yang melakukan upacara slametan.
Meski kajian Geertz sangat berpengaruh, bukan berarti tanpa kritik. Pembagian Geertz itu sekaligus memisahkan hal yang prinsipil, yaitu Islam dan Jawa. Sudah saya singgung di awal, pemisahan atau penggabungan dua term Islam (dan) Jawa akan menemui kerumitan, termasuk terdapat bias. Nancy K. Florida menulis dalam Jawa-Islam di Masa Kolonial (2020) dengan mengesankan, pembagian dan pemisahan itu, mewakili kepentingan kolonial.
Nancy K. Florida, yang beranggapan bahwa pemisahan itu merupakan proyeksi kolonial untuk melemahkan perlawanan masyarakat Jawa pasca Perang Diponegoro pecah. Florida (2020:9) menjelaskan dengan berakhirnya perang tahun 1830, Belanda mendapat kekuasaan sampai ke pedalaman (desa) Jawa. Artinya mereka berhasil menegakkan kekuasaan atas Jawa secara keseluruhan. Ini kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengganti atau mencari elit pribumi sebagai panjang tangan mereka, sekaligus untuk kepentingan memisahkan kultur elit dari kultur rendahan kaum kromo.
Selama elit-bangsawan pribumi dapat dijadikan bagaikan dari sistem kolonial dengan diberi jabatan di bawah administrasi kolonial, dan, pada saat bersamaan, dijauhkan dengan dimasukkan ke dalam semacam “cagar kebudayaan yang adiluhung”, elit tersebut akan terpisah baik dari massa yang mereka pimpin (yang juga dari kalangan kromo, bahkan santri), maupun dari anasir kekuatan Islam “fanatik” yang dapat mengancam pemerintah Belanda.
Ditambah melalui Javalogi, ilmu pengetahuan kolonial yang menyelidiki manusia Jawa beserta kebudayaannya, melayani kepentingan kekuasaan penjajah dengan membingkainya sebagai “Jawa Tradisional” yang dimaksudkan sebagai “tradisi kebudayaan adiluhung yang asli”. Sekaligus Javalogi akan memaknai kebudayaan tersebut sebagai tradisi yang berseberangan dengan Islam, dan kemudian menjadi sangat eksklusif karena hanya dimiliki oleh para bangsawan dan kelas Priyayi.
Woodward juga menulis pemisahan keduanya, bahwa ada upaya untuk menggali hubungan antara keraton dan pesantren. Kekuatan kerajaan Islam Keraton dibatasi dengan ketat, dan diupayakan lembaga-lembaga Islam digabungkan ke dalam administrasi kolonial (Woodward 1998:165). Demikian pula para priyayi awal abad 20, kian terpisah dari tradisi pesantren. Mereka dihalangi berhubungan langsung dengan santri. Belanda sangat curiga kepada siapapun yang belajar di pesantren (1998:166).
Sampai di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa kajian Islam Jawa tidak mulus. Bias akan kepentingan kolonial seperti di atas akan sangat mungkin. Ini juga membuat kita salah paham mengenai Islam di Jawa, terlebih—tanpa mengurangi rasa kagum—jika memahaminya berhenti pada trikotomi Geertz.
Maka terlalu dini jika kita menyebut, seperti premis Geertz, bahwa agama Jawa itu sinkretis, campuran dari animisme, hindu, budha, dan Islam. Di posisi ini, Woodward sedikit merevisi premis Geertz dengan menyebut pendapat Marshall Hodgson bahwa pada dasarnya Islam di Jawa sama dengan Islam di Timur Tengah.
Kesalehan Normatif dan Kesalehan Batin
Apa yang ditulis oleh Mark Woodward pada dasarnya melanjutkan penelitian lapangan Geertz. Meski ia sedikit menyinggung kalangan muslim pembaharu atau reformis. Woodward rasa-rasanya lebih fokus kepada tradisi muslim tradisional, melalui institusi pesantren. Terlebih ia juga menghadirkan bacaan (kutipan) kitab klasik, baik serat dari Jawa, ataupun dari kitab klasik Arab, walau tidak terlalu mendetail.
Ia juga melibatkan diri dan melihat langsung upacara keagamaan semisal grebeg maulud di Jogja, kota di mana ia melakukan penelitian. Termasuk melakukan banyak diskusi dan wawancara dengan informan dari kalangan santri reformis seperti Muhammadiyah, dan kalangan santri tradisional di pesantren salaf.
Dari amatan yang lebih banyak mengamati tradisi tradisional, ia berusaha menjelaskan Islam di Jawa lewat perbandingan antara Muslim atau santri yang syariah-sentris dan muslim kebatinan (mistisisme) atau kejawen (hal 3). Meski terkesan bertentangan, dan memang pada momen tertentu itu bertentangan, namun pada bagian lain Woodward berusaha menampilkan keduanya bertemu.
Pengertian Santri sendiri bagi Woodward adalah pelajar sekolah Islam. Sebenarnya cakupan pengertian ini terlalu luas, dan memang etimologi (asal-usulnya) masih kurang jelas. Namun bisa dibaca bahwa Woodward lebih menunjukan santri adalah orang yang terikat dengan sekolah Islam berupa pesantren, bukan sekolah Islam secara umum.
Sebagaimana ciri-ciri yang ia tulis untuk merujuk santri “pada segmen komunitas Islam Jawa yang menekankan pentingnya kesalehan normatif (menjalankan rukun Islam) dan mempelajari teks-teks keagamaan berbahasa Arab.” Untuk ciri yang terakhir sudah jelas ia merujuk pada santri yang belajar kitab klasik para ulama Timur Tengah (lihat hal 113).
Kembali pada soal kesalehan normatif, Woodward mengklasifikasikan kesalehan normatif dekat dengan syariah, yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Dengan itu kesalehan normatif didefinisikan sebagai “seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan oleh Allah, melalui utusannya Muhammad, bagi umat Islam. Ia adalah bentuk tingkah laku agama di mana ketaatan dan ketundukan merupakan hal yang sangat penting” (hal 6).
Meski demikian, Woodward juga menyinggung persoalan mistis yang ditujukan melalui jalan sufisme, dimana ajarannya berfokus kepada “kesatuan dengan Allah”. Sampai sini akan terjadi perdebatan mengenai posisi syariah yang merupakan bagian dari kesalehan normatif. Apakah seorang yang berpasangan Sufisme dan menganut ajaran kebatinan, harus terlebih dahulu selesai dengan syariah, atau justru menganggap syariah tidak penting? Ini bakal memunculkan perdebatan yang panjang, dan berulang.
Perdebatan ini meruncingkan hubungan keduanya, kelompok syariah-sentris dan sufisme. Meski keduanya sama-sama berupaya untuk meniru Nabi dan upaya penafsiran Al-Qur’an. Terhadap perilaku tafsir yang terlampau “ortodoks” inilah terdapat kelompok yang kaku dalam menjalani perintah agama. Di sini kemudian, dihubungkan munculnya sufisme sebagai reaksi melawan sikap pura-pura suci , dan kesan kesalehan yang hanya ada di bagian luar (hal 96).
Sampai sini, kita mendapat definisi “kesalehan batin” atau mistisisme atau sufisme, adalah yang berusaha mengolah jiwa, dan berfokus pada penyatuan diri kepada Allah. Pada bagian lain Woodward menggunakan istilah “mistik sufi” yang berakar pada pencarian pengetahuan mengenai Allah.
Perdebatan mengenai lahir dan batin dalam sufi, dipandang dalam tradisi Jawa secara lebih umum, yaitu untuk menjelaskan tatanan alam, juga untuk membedakan mistisisme dengan kesalehan normaif. Konsep keagamaan Jawa didasarkan pada pemikiran bahwa segala sesuatu yang ada tersusun dari wadah dan isi.
Woodward menulis, bahwa alam, bentuk, fisik tubuh, dan kesalehan normatif semuanya adalah wadah. Sedangkan Allah, Sultan, jiwa, iman dan mistisisme semuanya merupakan isi. Tujuan wadah adalah untuk menjaga, menahan dan membatasi isi, sebaliknya isi, justru untuk ‘meruntuhkan’ itu semua, dalam artian pada akhirnya isi itu lebih esensial ketimbang wadah. Tetapi dengan menerima dua konsep tersebut, keduanya tidak bisa diabaikan.
Konfrontasi dan Intrik
Meski terdapat konsep Wadah dan Isi, hubungan antara kesalehan normatif dan Sufisme masih terdapat problem. Saya ingin menunjukan problem sekaligus konformasi dan intrik keduanya melalui cerita Siti Jenar, yang juga dikutip oleh Woodward, juga lewat cerpen AA Navis berjudul Robohnya Surau Kami.
Siti Jenar menjadi tokoh sentral dalam mistisisme Islam Jawa. Konsepnya mengenai Kawula Gusti atau menyatu dengan Allah kerap diperdebatkan. Namun untuk saat ini saya hanya ingin menunjukan konfrontasi keduanya, bukan makna kompleks dari Manunggaling Kawula Gusti milik Siti Jenar. Selain tidak berkepentingan, saya juga merasa kurang mampu menjelaskan untuk saat ini.
Satu waktu, setelah sekian lama Siti Jenar tidak terlihat di masjid bersama para Wali yang lain, akhirnya ia dipanggil ke masjid untuk menghadap, diantaranya ada Sunan Giri dan Maulana Maghribi. Ia diundang untuk mendiskusikan perihal sufisme dan konsepnya mengenai Kawula Gusti. Siti Jenar menjelaskan mengenai kesatuan makhluk, “yaitu dengan pengertian akhir hanya Allah yang ada dan tidak ada perbedaan yang nyata antara Allah, manusia, dan segala ciptaan lainnya”.
Sunan Giri membenarkan doktrin itu namun melarangnya untuk disebarkan, sebab akan membuat orang meninggalkan syariah, lalu masjid menjadi kosong. Namun Siti Jenar menjawab, “Ketundukan buta (pada syariah) dan ibadah ritual tanpa isi, hanyalah perilaku agama orang bodoh dan kafir.” Jawaban lebih frontal diucapkan oleh Maulana Maghribi dengan menyela, “Kalau kamu benar-benar Allah, dan kamu sudah percaya pada syariah Nabi tentu kamu rela mati.” (Susanto dalam Woodward hl. 149).
Kelanjutan ceritanya Siti Jenar akhirnya dieksekusi, saya tidak akan menceriakan lebih detail lagi karena keterbatasan, namun dari perspektif Woodward melalui cerita ini, bahwa problem hubungan antara syariah dan praktek-praktek mistik tidak bisa diselesaikan.
Sedangkan dari perspektif kisah ini, para wali jelas digambarkan sebagai ulama konservatif, yang orientasinya syariah. Siti Jenar dikritik bukan karena ajarannya, melainkan karena penolakannya terhadap syariah. Kesimpulan yang diambil Woodward (dari kisah ini) adalah tidak mungkin menjadi ulama sekaligus menjadi mistikus yang ulung, seorang ulama harus memberi perhatian lebih pada pengembangan kesalehan normatif (lihat hl 150). Terlihat di sini, peran ulama konservatif terkesan sebagai antagonis.
Perdebatan semacam ini juga terdapat dalam teks sastra, semisal cerpen yang ditulis AA Navis berjudul Robohnya Surau Kami. Navis menghadirkan tokoh bernama Garin, seorang Kakek yang taat beragama. Kesehariannya ia merawat surau (tempat ibadah).
Kakek Garin mengabdikan seluruh hidupnya untuk ibadah, bahkan ia tidak memiliki pekerjaan formal. Ia hanya mendapat uang dari, misal, dari zakat dan santunan. Selebihnya ia hanya mengasah pisau, itu pun tidak dipatok harga, orang boleh membayar dengan rokok, sambal, atau yang lain. Kehidupan lahir batin Kakek Garin, diserahkan kepada Allah, bahkan ia tidak menikah, punya anak, dan mencari kaya, semua bentuk wadah duniawi ia tinggalkan.
Setelahnya ada tokoh Ajo Sidi yang bercerita, atau boleh dibilang membual, mengenai perjumpaan orang yang bernama Haji Soleh dengan Tuhan di akhirat. Cerita ini membuat Kakek Garin kesal dan berakhir bunuh diri. Singkatnya cerita dari Ajo Sidi begini, Haji Soleh dihukum masuk neraka gara-gara ia sembahyang secara egois, tanpa memperdulikan istri dan anak-anaknya dengan tidak menafkahi dan tidak bekerja untuknya.
“Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka kocar-kacir selamanya. Inilah kesalahan yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikitpun” (AA Navis 1992:16).
Tokoh Kakek Garin, maupun Haji Saleh, adalah penggambaran santri yang menampilkan kesalehan normatif, yang berorientasi pada syariah dan pengabdian kepada Tuhan seumur hidupnya. Cara ia meninggalkan dunia mirip dengan konsep Zuhud.
Namun seakan kesalehan yang ditampilkan Kakek Garin dan Haji Saleh hanya sebatas wadah nya saja. Apakah berarti ia tidak memperdulikan Isi atau kesalehan batin dalam rangka mencari Tuhan? Sayangnya, cerpen AA Navis tidak sampai mendetail untuk menjawab persoalan itu. Pada akhirnya, sekali lagi, hubungan kesalehan normatif dan mistisisme masih problematic dan saling bertentangan.
Titik temu
Meski awalnya Woodward menampilkan pertentangan antara syariah dan sufisme, atau wadah dengan isi. Ia juga menunjukan argumen bahwa keduanya seharusnya saling melengkapi, dan oleh karenanya terdapat titik temu. Tidak selamanya kesalehan normatif bertentangan dengan jalan mistik sufisme. Sebab, tulis Woodward, “santri tradisional berkeyakinan bahwa seluruh persyaratan kesalehan normatif harus dipenuhi dulu sebelum memasuki jalan mistik. Kebanyakan memandang kesalehan normatif sebagai bentuk awal menuju jalan mistik dan meyakini hal itu tidak bisa diabaikan oleh orang yang mencapai jalan mistik,” (hal 116).
Woodward juga menampilkan titik temu keduanya melalui penafsiran mengenai makna Ikhlas, yang berarti mendekatkan kepada Allah dan meninggalkan keinginan-keinginan manusiawi. Penafsiran ini mengambil contoh surat Al-ikhlas yang mengharuskan orang memurnikan niat ikhlas untuk menyembah Allah. Baik itu ikhlas dalam beribadah, maupun ikhlas dalam ibadah formal (dengan syariah). Ini berarti bahwa ketaatan ritual merupakan bagian hakiki dari Islam, tetapi ketaatan tersebut mesti terlahir dari cinta dan ketundukan kepada Allah, yang mana kecintaan kepadaNya merupakan soal batin (lihat hl 123).
Pertemuan keduanya, juga ditandai dengan syair-syair Hamzah Fansuri. Ia adalah sufi sekaligus penyair melayu yang terkenal dengan konsep penyatuan wujud. Misal syair berikut;
“Ambil hukum untuk lenteramu/agar engkau menjadi kekasih Allah/ Darinya bermula kesucian/Dan menyampaikan kepada kita mengenai Allah dan jalan kebenaran.”
Syair itu pada akhirnya, menekankan bentuk lahir kesalehan (syariah) sebagai tanda mengesakan iman kepada Allah dan syarat untuk mencapai pengetahuan mistik. Penafsiran mengenai syair Hamzah Fansuri ini, sekaligus mengakhiri perdebatan mengenai kesalehan normatif dengan sufisme sebagai representasi dari kesalehan batin. Tidak mungkin seorang santri, mencapai kesalehan batin, tanpa menyempurnakan kesalehan normatif.
***
Mark Woodward mengenai Islam di Jawa sebenarnya tidak selalu berkutat pada masalah dan perdebatan syariah dan sufisme. Namun lewat pengumpulan pandangan kesalehan normatif dari kalangan santri di pesantren, maupun kelompok kebatinan mistik.
Ia sampai pada kesimpulan bahwa Islam di Jawa tetaplah Islam, “sebab aspek-aspek doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa” (hal 5). Ini menjadi argument akhir yang penting, sekaligus menjadi premis dalam buku Islam Jawa: Kesalehan Normatif vs Kebatinan yang ia tulis. Premis ini berbeda sama sekali dari kesimpulan Geertz hahwa agama Jawa adalah sinkretis dari Islam, Hindu, dan Budha.
*disampaikan pada acara, Tadarus Buku, Selasa 26 April 2022